SAPI

Sapi

Matahari sedang berada diatas kepala, tepat diatas kepala, bayangan seperti takut muncul, ketakutan oleh matahari yang begitu terik. Rumput-rumput menguning kering, seperti bayi dengan gizi buruk, kurus, kering keriput.

Seorang bocah berjalan meniti pematang, melangkah pasti dengan tas yang di gendongnya beralaskan sepatu using, dengan eragam khas, baju putih dengan emblem bergambar dua bocah di saku, dan celana merah. Memakai topi dengan variasai warna yang sama lengkap berisi lambing tut wuri handayani didepannya.

Pematang yang kecil, berliku seperti titi ugal-agil, untungnya tak ada api yang membara di bawahnya. Pemetang di musim seperti ini memang kering, sepatu lusuhnya aman dari terkaman lumpur, seperti yang biasa dijumpainya di musim penghujan.

Setelah melewati pematang yang berliku, menginjak-injak rumpuk kerdil yang tak pernah berhasil meninggi, sampai dia dihalaman rumahnya. Rumah kecil dengan pagar tanaman perdu.

Tampak beberapa pohon cengkeh tumbuh di halamnnya, member donansi dedauan yang melimpah di halammnya, dan harus disapunya sore nanti. Sebuah dapur dengan empat pilar terbuat dari pohon yang daunnya menyeruak melewati atap. Ini lebih mirip sebuah rumah pohon yang merekat di tanah. Sebuahbale ada didepan dapur, merupakan tempat tidur, dengan tembok retak, dan menunggu rubuh.

Dia masuk kedalam kamar, mengganti seragam yang telah penuh keringat dan debu, karna telah menemaninya melewati setengah hari disekolah. Sebuah seragam, yang di gunakan dengan tujuan untuk menyembunyikan kemiskinannya. Pemerintah berbaikhati, menyembunyikan ketimpangan ekonomi social dengan menggunakan seragam yang sama, sehingga anak orang kaya dan miskin harus menggunakan pakaian yang sama saat berada disekolah.

Keluar dari kamarnya, bocah laki-laki itu melebarkan pintu dapur, yang sudah sedikit terbuka. Pintu yang terbuat dari bamboo yang harus di geser hati-hat dan pelan agar tak membuatnya roboh. Tampak sang ayah terbaring, tidur sebentar untuk mengisi ulang tenaga yang di habiskan metahari sedari pagi sampai siang. Sang ibu mungkin masih di tengah sawah, bersama rekan-rekannya memainkan ani-ani.

Mengambil piring, mengisinya dengan nasi yang telah dilewati saudara sepupu dari kecoa, mencampurnya dengan lauk dari dalam keranjang yang di gantung, dan sambal tomat dengan sedikit sentuhan kacang, yang akan menambah nafsu makan jika dicampur dengan nasi.

Setelah menandaskan nasinya dan mengakhiri sedang seteguk air, dia melangkah keluar dari dapur, kembali secara perlahan menutup paintu apur yang rapuh. “ndak usah ditutup” kata bapaknya yang masih terbaring.

Dia pun mengurungkan niatnya menutup pintu itu, mengambil sabit yang di telpelkan di gedeg dinding dapur, dan melangkah meninggalkan halaman rumahnya.

Telah didengarnya suara kelapasan sapinya, dia mempercepat langkahnya menuju gubuk istana sapinya. Dilihatnya keranjang rumput masih terisi setengah.

“apa yang kau tunggu bocah, aku kelaparan” kata sapi itu. “tak kau lihat, didepanku ini hanya tertinggal rumput kering, ini sampah, kau mau aku makan sampah ini? Cepat berikan rumput itu” lanjut si sapi.

Bocah itu melangkah, mendekatkan keranjang rumput itu kedekat kepala sapi, dan mengeluarkan semua rumput yang ada di dalamnya.

“oh… kau menyelamatkanku… aku sudah benar-benar kelaparan”. Kata sapi itu.

“kau tau, kadang kala aku menyesali keputusan nenek moyangku dulu, hanya karena Si Nuh menyelamatkannya dari air bah, mereka menerima tawarannuh untuk hidup dan diternakkan. Harusnya mereka tetap liar, sehingga anak cucunya tak menggantungkan nasibnya dari belas kasihan selamanya. Dan pastinya aku bias memilih apa yang aku makan jika seandainya aku bebas”

“Tapi apa boleh buat setidaknya aku makan” gerutu sapi itu.

Bocah itu hanya diam. Matahari mulai bergeser kebarat, sudah ada bayangan pepohonan yang member keteduhan, tapi gerah tetaplah gerah, akan tetap terasa walau ada bayangan yang ingin meneduhkan.

Bocah itu tak mempedulikan omongan si sapi, dia mengambil keranjang rumputnya dan melangkah keluar, kediaman si sapi. Menentengnya menyusuri setapak, untuk mengisi ulang keranjang itu, mencarikan makan malam buat si sapi.

Keputusan Nuh menernakkan kami untuk bahan makannannya membuat kau kehilangan tidur siangmu” kata sapi itu mengiringi kepergian si bocah.

Tali berwana biru sebesar ibu jari melintang di hidung sapi itu, tanda dia dalam kendali penuh. Kemudain mengikatnya ke tiang-tiang kandang. Kadangkala rasa lapar membuatnya menjadi emosional hingga mengeluarkan tenaganya berusaha lepas, sayangnya yang terjadi dia hanya berputar 180 derajat, dan mendapatkan hadiah pukulan dari pemiliknya, karna sudah membuat repot pemiliknya.

“kau tau, ini adalah musim yang berat. Rumput yang kumakan adalah rumputkeriput dan alot” katanya bergumam, sambil gigi-gigi ratanya menguyah rumput-rumput itu.

Panas yang terik tanpa hujan, dingin malam yang membuat tulang-belulang ngilu, udara yang kering, membuat rumput pun seperti enggan tumbuh.

“aku membagi rumput yang kumakan menjadi dua jenis, kau mau tahu?” si sapi memamerkan ilmunya. “pertama rumput manja, dia seperti pangeran. Tumbuh dengan panjang, daun yang hijau, penuh air, segar, dan sehat. Aku pikir rumput itu sengaja di rawat untuk dijadikan makananku, diberi pupuk, dapat banyak air dan jarang diinjak-injak pastinya, karna nyaris tak ada aroma lumpur di daunnya. Tapi rumput ini hanya membuatku cepat lapar lagi, dan susah mengenyangkan perut. “

“yang satunya adalah rumput budak, dia liat, kering tapi berisi. Ukuranya pun pendek-pendek, keriput, warnanya hijau pudar, tanpa air. Aromanya hanya lumpur bahkan pesing. Tapi rumput ini bikin kenyang. Aku pikir ini rumput liar yang tidak diurus dan harus bertahan hidup ditengah injakasn kai-kaki orang yang lewat, dan harus bertahan dan terus bertahan.”

Si sapi melanjutkan “satu mersamaan dari keduanya, akhirnya mereka sama-sama aku kunyah, dan mesuk kedalam perutku. He..he..he..”. mulutnya masih sibuk menguyah rumput kering itu.

Matahari semakin turun, bayangan semakin lebar, semakin banyak tempat yang teduh. Sudah sekitar satu jam, Bocah itu masih mondar-mandir mencari rumput yang layak untuk disabit. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, hamper mengitari seluruh ladang. Dan keranjanggya belum juga penuh, jangankan penuh setengah saja belum terisi.

“kau akan mencari rumput kemana? Semua sama saja, sama pendeknya” kata sang ayah. Bocah itu terkejut, dan menoleh. Entah apa yang sedang dia pikirkan.

Ayahnya tampak berdiri, menggenggam sabit, dan memangku cangkul di pundaknya. Lelaki seperuh baya itu menurunkan cangkulnya, “piih satu tempat, kemudian sabitlah rumput berurutan, rata, dan pelan-pelan sampai keranjangmu penuh” katanya sambil meraih keranjang rumput di sebelah bocah itu.

Bocah itu hanya berdiri, kemudian melangkah mengikuti ayahnya. Ayahnya melangkah menuju pelataran sebuah pura yang ada di lading mereka. Tampak tanah lapang dengan rumput yang tingginya tak lebih dari 9cm. sang ayah menaruh keranjangnya, di pinggiran tanah lapang dia jongkok dan mulai menyabit. Si bocah mengikuti dari sisi yang lainya.

Perlahan tapi pasti sang ayah menyabit rumput pendek tersebut, tanpa sekalipun menoleh keranjangnya. Beberap agundukan besar telah terkumpul, dan beberapa meter persegi telah habis dipangkasnya dengan rapi. Mereka bekerja dalam diam. Khusuk dengan rumput dan sabit masing-masing.

Tampak jelas, waktu member pengalaman, pengalaman member pelajaran, pelajaran merubah manusia yang mau belajar. Jejak sabitan sang ayah sangat rapi, rata, tampak ketenangan, kesabaran dan ketekunan disana. Sedang jejak sang bocah, terlihat terburu-buru. Sekitar 30 menit berlalu. Sang ayah bangkit, mengambil keranjang rumput dan membawanya mendekat.

Gundukan rumput pun dimasukkan kedalam keranjang, ditekan supaya semakin padat. Sibocah pun mengambil rumput yang dia kumpulkan dan memasukkannya kedalam keranjangnya. Setengah tanah lapang itu telah habis di sabit dua orang ini. Keranjang pun telah penuh, padat, dan berat.

“udah cukup, kamu taruh aja di kandang, nanti malam baru kita berikan’ kata sang ayah, sambil menaiikan sekeranjang rumput itu keatas kepala bocah itu.

Sang ayaj berjalan didepan, menenteng sabit. Tubuhnya hitam liat mengkilat, ditempa waktu dan keadaan. Beberapa panu menyusun formasi pulau di punggungnya. Sibocah mengikuti, melihat ayahnya mengambil cangku. Matahari semakin rendah, sebentar lagi akan hilang.

“nanti taruh sabitnya dengan baik” kata sang ayah sambil melangkah menuju sawah, dengan memikul cangku.

Si bocah melangkah menuju kandang sapi. Melihat masih ada sisa rumput yang disajikan tadi, si sapi terbaring kenyang tak banyak omomng.

“akhirnya kau selesai juga menyiapkan makan malamku”kata si sapi. ‘ah, rumput budak lagi.”

Bocah itu menaruh keranjang rumputnya di depan kandang, masuk untuk mengorek rumput yang disajukan tadi agak kedalam, semakin dekat dengan mulut sapi sehingga mudah diraih. Lalu melangkah pergi.

“tak ada perayaan tak ada makan enak” gedumel si sapi. “pada musim seperti aku hanya bisa makan rumput manja jika, mereka memiliki hari raya atau kesibukan upacara, sehingga mereka tak punya cukup banyak waktu untuk berburu rumput budak yang kerdil” lanjut si sapi sambil meraih rumput kering yang ada didepannya.

Bocah itu menaruh sabit ditempatnya semula, menegak air dari centongnya, dan membasuhkan sisanya kemukannya. Lalu berlari meninggalkan rumahnya, ingin meraih kembali sisa waktunya bermain, sebelum matahari tenggelam, dan tak ada bayangan yang tampak.

Tinggalkan komentar